Friday 14 December 2007

Melajang: antara nasib dan pilihan

Menjadi lajang itu bukan nasib, tapi pilihan. Itu yang sering gue lontarkan ke beberapa orang ketika mereka memandang gue dengan tatapan prihatin setelah tahu kalau hampir 3 tahun ini gue melajang. Sebetulnya apa yang gue lontarkan tadi gak sepenuhnya benar. Mungkin lebih sebagai naluri defensif, membela diri atas kelajangan gue.

Lain lagi alasan yang gue berikan ke cowok-cowok yang sempat mampir sebentar dalam hari-hari gue. “Gak laku di bursa perjodohan”. Begitu gue sering menanggapi pertanyaan mereka. Yang biasanya sering ditimpali dengan pertanyaan,”Seorang Dinda gak laku? Gak mungkin. Lo kan manis, lucu, menarik, enak diajak ngobrol, pinter, mandiri. Masa sih gak ada yang mau ama cewek seperti itu. Pasti lo yang pilih-pilih nih.”

Tiga sifat pertama yang dia sebutkan tadi mungkin termasuk kriteria idaman cowok. Masuk ke sifat keempat, cowok masih suka. Sifat kelima, cowok mulai pikir-pikir. Di sifat keenam, itulah saat yang tepat bagi cowok untuk mundur teratur, bahkan kalau perlu mengambil langkah seribu.

“Masa sih begitu? Kenapa?” Beberapa cowok kadang dengan sok naifnya melontarkan pertanyaan itu. Dan gue, dengan sok taunya, memberikan jawaban. Kalau dari yang gue denger-denger sih, cowok sering merasa terancam egonya kalau dekat dengan cewek yang menurutnya lebih pintar dari dia. Dan mereka merasa hilang eksistensinya bila mendampingi cewek yang dianggap mandiri. Mereka merasa tak berarti lagi, menjadi tak penting lagi.

Terus terang gue gak tau tingkat kebenaran pernyataan-pernyataan tadi. Tapi gue pribadi cukup percaya itu, karena semua pernyataan itu keluar dari mulut para cowok juga. Dan berdasarkan pengalaman, ternyata memang bisa dibilang cukup terbukti.

Seperti yang terjadi dengan cowok terakhir yang dekat dengan gue, yang sempat tidak percaya kalau gue melajang karena tidak laku, lalu membacakan 5 sifat ’ideal’ tadi. Kalian tahu apa yang terjadi kemudian? Kita gak sampai jadian. Paling tidak, gak ada deklarasi resmi di antara kami bahwa kita jadian. Meskipun kedekatan kita kadang membuat kita merasa sebagai pasangan (atau mungkin gue aja yang ke-GR-an?). sampai akhirnya intensitas itu berkurang.

Dan sebelum komunikasi di antara kita benar-benar terputus, dia sempat bilang kalau dia gak berani meneruskan kedekatan dengan gue karena gue terlalu mandiri buat dia. Hahaha, ironis sekali, bukan?! Gue gak bisa berkata apa-apa mendengar pernyataan itu. Yang tersisa dalam pikiran gue hanya rasa penasaran, apa yang dia maksud dengan terlalu mandiri? Rasa-rasanya gue sering mengandalkan banyak hal ke dia dan cukup sering minta saran dan melibatkan dia dalam banyak proses pengambilan keputusan. Bahkan tak jarang gue minta ijin dia ketika akan melakukan sesuatu, sebuah hal yang sebetulnya gak perlu gue lakukan.

Apa pun itu, sampai sekarang gue masih penasaran, apa sebetulnya definisi cewek mandiri versi cowok. Setelah melalui semua itu, kadang gue berpikir, mungkin memang lebih baik memilih untuk jadi lajang, dibanding punya pasangan yang terus merasa ’terancam’ dengan diri kita dan asesoris yang menyertai kita. Bagaimana dengan kalian, pengangguran cinta?

Hahaha. Sepertinya sebutan itu tepat sekali buat kita berlima, perempuan-perempuan yang sangat sibuk dengan pekerjaan dan pergaulannya, tapi nganggur dalam percintaan. Yah, semoga masalah kita tidak terus berkepanjangan. Semoga masih ada laki-laki baik di luar sana yang bisa menerima kita apa adanya ;-)

Dinda out

2 comments:

Adhiguna Mahendra,PhD said...

Gue suka cewek mandiri. Semua cewek gue mandiri dan pinter.

I guess hanya cowok yang punya self confidence yang rendah yang takut sama cewek pinter dan mandiri.

indahcahya said...

dear all

boleh minta contact person yang punya blog ini tidak..

butuh buat referensi tulisa

Thanks

Indah Cahya
PRodo Magz
punyakoe_indah@yahoo.com